Tafsir Kolonialisme Dan Kebangsaan (Studi Konstruksi Tafsir Tuan Guru Zainuddin Terhadap QS. Al-Maidah 44-45)
Rp90.000
Judul : Tafsir Kolonialisme Dan Kebangsaan (Studi Konstruksi Tafsir Tuan Guru Zainuddin Terhadap QS. Al-Maidah 44-45)
Penulis : Zulkarnaen
Sinopsis Buku :
Tahun 1894 Belanda berhasil menyingkirkan kerajaan Bali-Mataram di pulau Lombok. Pasca keruntuhan kerajaan Mataram itu, Lombok mengalami fase kekosongan kekuasaan Lokal (local-kingdom). Sehingga Kolonial Belanda menaklukkan Gumi Selaparang dengan kuasa penuh. Di bawah tirani kolonial, bangsa Sasak mengalami keterpurukan dalam kubangan kemiskinan dan keterbelakangan. Situasi ini lantas memicu munculnya fenomena—meminjam bahasanya Vander Kraan “datu datuan”. Hal ini muncul dari palung imajinasi kultural masyarakat Sasak tentang hadirnya ”mesias”—juru selamat alias Ratu Adil yang akan menyelamatkan mereka dari tekanan penjajahan.
Tahun 1870, muncul satu figur yang mendeklarasikan diri sebagai juru selamat, yakni Guru Dane dari Desa Kuripan, Lombok Barat. Masyarakat memercayai bahwa Guru Dane memiliki aneka kesaktian. Sehingga ia dipercaya sebagai figur yang akan memimpin revolusi melawan Kolonial. Tahun 1910, muncul pula seorang dari kalangan kasta Sudra dari Cakranegara, yang mengabarkan kepada rakyat Lombok perihal kebangkitan kembali putra mahkota Mataram, Anak Agung Ketut Karangasem yang menjelma menjadi burung Garuda. Kebangkitan ini juga dipercaya sebagai juru selamat masyarakat Sasak dari segala kegetiran akibat kekejaman kolonial Belanda. Kemudian pada 1920, dari desa Sakra muncul seorang perempuan yang mengaku sebagai reinkarnasi Dewi Anjani. Ia berjanji akan mengembalikan kejayaan Selaparang dan mengusir Belanda dari Gumi Selaparang. Bahkan, tahun 1927, seorang petani bernama Amaq Sumikidi dari Jonggat, memproklamirkan dirinya sebagai Jayeng Rana. Ia juga berjanji akan mengusir Belanda dari Tanah Sasak dengan senjata saktinya pelor emas ( lihat Vander Kraan, Lombok: Penaklukan, Penjajahan dan ketrebelakangan 1870-1940).
Di tengah realitas sosial-politik tersebut, Saggaf kecil yang kelak masyhur disebut Tuan Guru Zainuddin lahir di Kampung Bermi, Pancor, Lombok Timur pada 17 Rabiul Awwal 1316 Hijriah /20 April 1908 Masehi. Dengan demikian, tentu saja ia tumbuh dan berkembang dalam milleu zaman peralihan; ketika kuasa kolonial masih menguasai Nusantara (termasuk Lombok), dan di sisi lain Belanda sedang menggalakkan politik etis. Sejurus dengan itu, nasionalisme orang-orang pribumi (demikian pula orang orang Sasak) sedang tumbuh menuju revolusi kemerdekaan. Dengan demikian, Tuan Guru Zainuddin telah mengalami momen “encounter” terhadap kolonialisme sejak masih sangat belia dan ketika semangat nasionalisme sudah mulai menyala.
Reviews
There are no reviews yet.